22 August 2008

PA-SUNDA-AN

Sunda, sebuah kata yang tak asing bagi telinga saya. Karena konon saya adalah orang Sunda bahkan beberapa orang mengekspresikannya dengan menyebut ”Sunda banget”. Tapi sering saya sendiri bertanya-tanya, benarkah saya ini Sunda ? bahkan lebih jauh lagi saya malah bertanya-tanya, apa Sunda itu ? bahkan kalo bisa Bagaimana saya bisa menjadi urang Sunda ? Kenapa ? terus apa ?

Kalau kita searching kata ”Sunda” di internet, maka akan muncul kata sunda dalam berbagai bahasa dan arti. Ada bahasa Turki, Perancis, Inggris, Denmark dan lainnya. Entah lah apakah arti dari kata itu sendiri dalam berbagai bahasa tersebut sama atau tidak.

Namun jika kita mendengar nama Sunda (setidaknya saya dan orang-orang yang saya kenal), maka yang pertama kali terbayang adalah orang-orang Sunda yang tinggal di suatu daerah yang dikenal sebagai Pasundan (Pulau Jawa bagian Barat) dengan bahasa dan logatnya yang khas. Kata beberapa teman, orang dengan logat seperti itu, jauh dari menyeramkan. Bahkan jika orang tersebut menyebut dirinya preman, maka akan terlihat ”menggelikan”.

Kalo lebih teliti lagi di buku-buku pelajaran terutama ilmu bumi, geografi atau sejenisnya, kita akan menemukan kata-kata Sunda besar, Sunda kecil , paparan Sunda, dan lain-lain. Dalam ilmu tersebut, kata Sunda digunakan untuk menggambarkan gugusan kepulauan di wilayah Nusantara.

Pengunaan kata ”Sunda”

Kata Sunda menurut catatan sejarah di nusantara, konon pertama kali digunakan oleh Maharaja Purnawarman. Raja yang berkuasa di kerajaan Taruma Nagara dengan wilayah kekuasaan pulau jawa bagian barat dari selat sunda sampai dengan sungai cipamali (brebes) sekarang. Pengunaan nama Sunda tercatat sekitar tahun 397 M. Kata Sunda digunakan untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang baru, yaitu Sunda-pura. Kata Sunda pura kurang lebih artinya adalah Kota Suci. Letak kota ini disebutkan didekat pantai, diperkirakan di sekitar Pasir Muara Kecamatan Cibungbulang Bogor sekarang. Ssedikit gambaran dari kisah tersebut, saat itu berarti Sunda mewakili sebuah wilayah seluas kota.

Sunda selanjutnya diberitakan digunakan sebagai nama kerajaan bawahan Tarumanagara. Hal ini terungkap dari prasasti Pasir Muhara yang menyatakan bahwa Surya Warman raja Tarumanagara, mengembalikan pemerintahan/kekuasaan kepada Raja Sunda. Kejadian ini terjadi di tahun 536 M. Sunda saat itu diperkirakan nama kerajaan (bawahan) Sunda Sambawa.

Sunda ”naik pangkat” dari sebuah wilayah kerajaan bawahan menjadi sebuah wilayah kerajaan saat jaman raja Tarusbawa. Tarusbawa adalah pewaris kerajaan Sunda Sambawa yang menikah dengan anak Lingga Warman, raja Taruma ke-12. Setelah ia mewarisi Taruma melalui istrinya, Ia mengganti nama kerajaannya dari Tarumanagara menjadi Sunda. Namun saat itu Sunda tidak mewarisi wilayah kekuasaan kerajaan Tarumanagara sepenuhnya. Karena pada saat yang hampir bersamaan, wilayah Tarumanagara sebelah timur (dari sungai citarum sampai sungai cipamali) melepaskan diri dan membentuk kerajaan baru dengan nama Galuh. Hal ini terjadi sekitar tahun 670 M. Dengan demikian, Sunda saat itu mewakili wilayah pulau jawa bagian barat dari selat Sunda sampai dengan sungai citarum.

Luas wilayah Sunda

Seperti telah diuraikan di paragraf sebelumnya, luas wilayah Sunda awalnya hanyalah sebesar sebuah kota. Terus berkembang menjadi sebuah kerajaan bawahan, namun mengenai luas wilayah kota atau kerajaan bawahan ini tidak ada petunjuk yang jelas. Selanjutnya setelah dibawah pimpinan Tarusbawa, Sunda menjadi kerajaan dengan wilayah diperkirakan dari selat Sunda sampai sungai Citarum.

Selanjutnya pada masa raja Sanjaya (cucu menantu Tarusbawa), terjadi penaklukkan Galuh oleh Sunda di tahun 723 M. Galuh saat itu secara langsung berada dalam kekuasaan Sunda meskipun pada kenyataannya yang berkuasa adalah Sanjaya cicit dari Wretikandayun (=pendiri Galuh). Meskipun demikian Galuh masih memiliki raja tersendiri yaitu Permana Dikusumah, dibawah pengawasan Sunda. Sehingga kekuasaan Sanjaya saat itu sudah menyamai kekuasan Purnawarman.

Dikisahkan pula bahwa saat itu, Sanjaya juga mewarisi kerajaan Medang/ Mataram Kuno dari istrinya. Sehingga jika dianggap Sanjaya merupakan representasi penguasa Sunda, Sunda saat itu sudah seluas pulau Jawa secara utuh. Namun tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Sunda saat itu menjadi pusat kontrol kekuasaan di jawa secara utuh.

Namun pada masa cucu Sanjaya (Arya Banga) sekitar tahun 739 M, Galuh berhasil melepaskan diri lagi dibawah pimpinan raja Ciung Wanara (Manarah). Dan keadaan malah menjadi berbalik, dengan perjanjian Galuh (739M) Sunda berada dibawah kekuasaan Galuh (Naskah Kabuyutan). Sampai akhirnya setelah berjuang selama 20 tahun, Arya Banga selaku raja Sunda, bisa diakui lagi sebagai kerajaan yang mandiri.

Terpisahnya Galuh dengan Sunda hanya berlangsung sekitar 100 tahun. ”Perpisahan” ini hanya sampai pada masa pemerintahan raja Linggabumi. Ia adalah turunan ke-4 dari raja Ciung Wanara. Selanjutnya Galuh bergabung dengan Sunda dibawah pimpinan raja Rakyan Wuwus Gajah Kulon. Adapun Gajah Kulon adalah pewaris tahta Sunda yang juga ipar dari Linggabumi. Saat Linggabumi wafat ia juga mewarisi Galuh dari Linggabumi. Sehingga inilah merupakan titik awal dari era kerajaan Sunda yang wilayahnya mewarisi wilayah kerajaan Tarumanagara. Hal ini terjadi sekitar tahun 842 M namun dalam berbagai catatan, momen ini tidak banyak diceritakan karena tidak ada momen lain yang cukup menarik yang menyertainya.

Dari tahun 842 M (sejak Linggabumi wafat) sampai dengan 1371 M jaman Mangkubumi Bunisora, tidak ada perubahan wilayah kekuasaan yang berarti. Kerajaan Sunda masih dapat dikatakan seluas Tarumanagara sejak jaman Purnawarman. Perubahan hanya terjadi dalam penentuan ibukota kerajaan. Ibukota kerajaan beberapa kali berpindah tempat, tergantung hasil perhitungan para raja yang berkuasa. Dan pernah sekali terjadi perebutan kekuasaan di jaman raja Limbur Kancana di tahun 954 M, tetapi tanpa disertai peperangan dan perubahan wilayah kekuasaan. Selebihnya selama 500 tahun lebih kerajaan Sunda dapat dikatakan aman dan damai, meskipun ada peristiwa bubat di tahun 1357 M namun terjadi di luar wilayah kerajaan Sunda.

Perubahan wilayah kerajaan terjadi sekitar tahun 1400 M, saat Prabu Niskalawastu Kancana menikah dengan Lara Sarkati. Lara Sarkati adalah anak penguasa lampung saat itu. Sehingga dengan pernikahan itu Sunda mendapat tambahan wilayah Lampung. Dengan demikian wilayah kekuasaan Sunda saat itu adalah dari Sungai Cipamali sampai Lampung. Dengan luasnya wilayah ini serta ketentraman yang ada, wangsakerta menjulukinya Prabu Wangisutah (Prabu Wangi).

Namun di tahun 1475 M setelah Niskalawastu Kancana wafat. Kerajaan Sunda terbagi menjadi 2 dikarenakan hak waris yang turun kepada kedua anaknya. Yang pertama Sanghyang Susuk Tunggal, menguasai wilayah Sunda bagian barat sampai Lampung. Dan yang kedua adalah raja Dewa Niskala menguasai Sunda bagian Timur bekas kerajaan galuh. Batas kedua kerajaan ini sama seperti jaman Arya Banga dan Ciung Wanara yaitu sungai Citarum.

Dalam masa generasi berikutnya, kedua kerajaan sudah bergabung kembali. Wilayah kerajaan Sunda bergabung kembali pada masa pemerintahan Jaya Dewata. Terjadi di tahun 1482 M, Dewa Niskala menyerahkan tahta kepada anaknya yaitu Jaya Dewata. Jaya Dewata yang merupakan pewaris dari Galuh ditahbiskan pula tahta Sunda oleh mertuanya Sang Susuk Tunggal diatas Palangka Sriman Kancana sebagai Prabu di kerajaan Sunda. Dengan demikian Jaya Dewata dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi. Hal ini karena kekuasaan nya dianggap sama dengan Prabu Wangi (Niskalawastu). Ibukota kerajaan menempati Pakwan Pajajaran yang terdiri dari Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yang dibangun oleh Susuk Tunggal.

Secara de Jure, Kerajaan Sunda di tahun 1482 masih memiliki wilayah dari Lampung sampai sungai cipamali. Namun secara de Facto, pada tanggal 12 caitra 1404 Saka atau 2 April 1482, wilayah Cirebon melepaskan diri dari Sunda. Cirebon saat itu dipimpin oleh Sunan Gunung Jati yang juga merupakan cucu Jaya Dewata Sang Maharaja Pajajaran yang baru bertahta waktu itu. Terlepas dari merdekanya Cirebon, periode Jaya Dewata tercatat merupakan periode kerajaan Sunda yang paling makmur. Berbagai catatan menunjukkan bahwa saat itu, perekonomian sangatlah berkembang, sehingga ”mungkin” tidak terlalu merisaukan ancaman keutuhan wilayah.

Tahun 1524, kerajaan Sunda kehilangan wilayah Banten termasuk Lampung (Piagam Bojong). Saat itu pemerintahan Sunda berada di tangan Surawisesa. Surawisesa merupakan anak dari Jaya Dewata. Banten membentuk kerajaan sendiri dengan dukungan Demak dan Cirebon. Raja pertama ialah Sultan Maulana Hasanuddin yang dikenal pula sebagai Pangeran Sabakingkin, anak dari Sunan Gunung Jati dari Kawunganten (Penguasa Banten).

Tahun 1527, Pelabuhan Sunda Kalapa lepas pula dari kerajaan Sunda. Kali ini lepasnya Sunda Kalapa disertai dengan peperangan yang cukup besar. Cirebon, dibantu Banten dan Demak menyerang Sunda Kelapa dengan maksud untuk mengusir Portugis. Serangan ini mengakibatkan jatuhnya Sunda Kalapa dan sejak saat itu peperangan terus berlangsung antara Sunda dan Koalisi khususnya Banten.

Sekitar tahun 1567 , Kerajaan Sunda kehilangan pemimpin negeri. Raja Sunda waktu itu yang bernama Raga Mulya (Surya Kancana) turun tahta dan pergi keluar istana (ke Pulosari). Sebelum pergi dia menitipkan mahkota kerajaan ke kerajaan Sumedang. Dia juga memberikan sebuah amanat yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi. Berdasarkan wangsit tersebut, beliau menyatakan bahwa beliau akan menjadi rakyat biasa. Kejadian ini diperkirakan terjadi saat Pajajaran diultimatum oleh Sunan Gunung Jati untuk mengosongkan ibukota. Ini berarti secara de facto, Sunda sudah jatuh ke tangan Sunan Gunung Jati baik melalui Cirebon maupun Banten.

Pertarungan antar keturunan Jaya Dewata pun secara nyata berakhir dengan jatuhnya istana Pakuan. Tanggal 11 Wesaka 1501 tahun Saka atau 8 Mei 1579 Istana Pakwan Pajajaran jatuh ke tangan pasukan Banten. Peristiwa jatuhnya ini dikenal dalam cerita-cerita rakyat dengan nama burak Pajajaran.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka diyakini bahwa pemakaian kata Sunda pertama kali sebagai nama suatu wilayah adalah Maharaja Purnawarman. Selanjutnya digunakan sebagai nama kerajaan pertama kali oleh Prabu Tarusbawa. Sedangkan cakupan wilayah terluas terjadi saat Prabu Wangisutah (Niskala Wastu Kancana) berkuasa, dengan mencakup Lampung sampai dengan sungai Cipamali.

Dari berbagai sumber.

051108

 

1 comment: